Muslim Profesional

Identitas sebagai muslim itu bertumpu pada dua hal ; pertama, akidah atau sistem keyakinan yang tertanam di hatinya, diucapkan dalam lisannya, serta diamalkan. Kedua, akhlaq atau perilaku keseharian sebagai manifestasi dari keyakinannya. Ibarat warung makan, dapurnya itu akidah sedangkan yang harus kita sajikan adalah akhlaq. Aqidah tidak perlu diumumkan tapi kita persembahkan secara khusus hanya kepada Allah.

Dalam sebuah diskusi bersama elemen umat Islam di Surabaya. Ir. Abdul Kadir Baraja sebagai narasumber, menyampaikan statistik bahwa jumlah umat Islam cukup besar secara kuantitas. Namun kualitasnya kalah jauh dibandingkan Non Muslim. Mereka lebih profesional. Indikatornya, jumlah kalangan menengah atas dan kaum elit lebih didominasi oleh Non Muslim. Sebagaimana fenomena Ahok di DKI Jakarta.

Kegiatan Mengaji di Griya Madani
Kegiatan Mengaji di Griya Madani

Hal ini menjadi tantangan besar bagi umat Islam. Sebagai umat mayoritas namun aspirasi kehidupan beragama tidak cukup rendah. Betapa banyak karyawan muslimah yang bekerja di swalayan, di saat yang sama tidak berdaya karena menjual miras. Bahkan ketika natal harus memakai baju sinterklas. Agenda besar umat Islam adalah memperkuat barisan muslim profesional.

Apa muslim profesional itu ?. Orang Islam yang memiliki kompetensi, moral dan peduli terhadap umat. Orang yang memiliki kompetensi berarti mampu menyelesaikan masalah berdasarkan kapasitasnya. Sedangkan moral lebih pada karakter personal yang dapat dipercaya. Adapun kepedulian terhadap umat membutuhkan ‘ruh ad-da’wah’. Dia memiliki keinginan agar orang lain bisa menikmati menjadi muslim yang cerdas sekaligus amanah.

Bagaimana membentuk muslim profesional ?. Tidak semua muslim itu profesional. Ada yang lebih mementingkan dirinya sendirinya. Bahkan ada juga yang menjadi musuh dalam selimut. Ini sudah masuk kategori munafik. Untuk mencari solusi, cara pandangnya ialah fokus pada generasi penerus, yaitu anak. Orang tua yang menjadi problem hari ini – dengan sendirinya akan meninggal baik secara teknis maupun biologis.

Anak itu ternyata waktu terbesarnya setiap hari ada di sekolah, kurang lebih 8 jam. Nah, disaat masjid kehilangan remaja masjid, ormas kehilangan sayap pemudanya, – kaderisasi muslim profesional menjadi mandeg. Kini saatnya sekolah mengambil peran utama tersebut. Kepala Sekolah sebagai top manajemen harus mampu membangun budaya sekolah. Logikanya, sekolah menjadi ‘sibgho’ (celupan) bagi anak muslim dari berbagai latar belakang. Outputnya, dihasilkan muslim profesional dalam jumlah masif.

Ide ini cukup revolusioner. Bahkan utopis jika tidak diimbangi melalui langkah strategis maupun taktis. Budaya sekolah diatas bisa terwujud jika kepala sekolah dan guru sebagai operator sekolah menjadi muslim profesional terlebih dahulu. Selanjutnya, operator tersebut mengkader siswa. Harapannya siswa tersebut bisa mewarnai keluarganya. Minimal akhlaq keseharian yang ditanamkan oleh sekolah mampu ditransformasikan di rumahnya.

Apakah cukup mengandalkan kepala sekolah ?. Tidak cukup. Untuk menjaga ruh dan spiritual leadership, kepala sekolah butuh bimbingan. Sosok yang membimbing, tentu kualitasnya harus sekelas ‘Kyai’. Orang yang mumpuni dalam ilmu agama disertai kejernihan hati. Jika mau lebih kritis, darimana kita bisa mencari atau menghasilkan ‘Kyai’ ?.

Recommended For You

About the Author: Anjaya Wibawana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *