Review Kajian Tadzhib Bab 1 Hukum Kesucian & Kebersihan “Air” Oleh: Ust. Ahmad Fadhail,Lc

BAB 1: KESUCIAN DAN KEBERSIHAN

I. AIR
1. Macam-macam air
Air yang boleh digunakan untuk bersuci itu ada tujuh macam, yaitu :
1. Air yang turun dari langit (air hujan)
2. Air laut
3. Air sungai
4. Air sumur
5. Air sumber
6. Air salju
7. Air embun

Penjelasan:
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bersuci itu boleh menggunakan semua air dari bumi atau turun dari langit. Dalil dibolehkannya bersuci dengan air tersebut adalah kalam Allah dan hadis-hadis Nabi SAW. Sebagai berikut:

“Dan Allah menurunkan kepadamu air dari langit untuk mensucikan kamu semua dengan air itu.” (Q.S. Al-Anfal: 11)

Hadits:
Riwayat Abu Hurairah r.a. Ia berkata bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, tentang air laut. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, kami berlayar di laut sedang kami hanya membawa bekal sedikit air, apabila air itu kami gunakan untuk berwudhu, maka kami tidak dapat minum. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?” Rasulullah SAW, bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. Lima Imam Hadis) Imam Tirmidzi berkata: Hadis ini hasan dan sahih.
Maksud halal bangkainya adalah bangkai binatang laut, seperti ikan dan lainnya itu boleh dimakan tanpa disembelih secara syar’i.

2. Pembagian Air
Ada empat macam air, yaitu :
1. Air suci yang dapat menyucikan serta tidak makruh penggunaannya. Macam air seperti ini disebut air mutlak.
2. Air suci yang dapat menyucikan, tetapi makruh digunakan. Macam air seperti ini adalah air musyammas (yang tersengat matahari).
3. Air suci tetapi tidak dapat menyucikan, yaitu air musta’mal (sudah terpakai) dan air yang telah berubah sebab tercampur benda suci.
4. Air najis, yaitu air yang bercampur benda najis dan jumlahnya belum mencapai dua qullah, atau telah mencapai dua qullah namun berubah.

Dua qullah itu sama dengan lima ratus kati yang berlaku di kalangan masyarakat Baghdad. Ini menurut pendapat yang paling benar.

Penjelasan:
Dasar kesucian air mutlak ialah hadis Nabi SAW. :
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata; “Ada seorang pedalaman berdiri di dalam masjid dan kencing, orang-orang segera berdiri hendak memarahinya, tapi Nabi SAW, bersabda: “Biarkan dia, tuangkan saja satu timba air pada bekas kencingnya. Kamu semuanya ini diutus untuk member kemudahan, bukan untuk member kesulitan.”
(HR. Bukhari dan yang lainnya)

Air musyammas adalah air yang dipanaskan dalam bejana logam dengan memakai panas matahari. Hal itu dimakruhkan, karena menurut suatu pendapat dapat menyebabkan penyakit kulit, belang atau memperparah penyakit kulit. Hukum makruh tersebut hanya belaku jika penggunaannya untuk badan dan di daerah yang panas, seperti daerah Hijaz.

Air musta’mal adalah air yang telah digunakan (bekas) untuk menghilangkan hadas. Dalil kesucian air macam ini adalah hadis Nabi SAW. :
“Dari Jabir bin Abdullah r.a, ia berkata: Rasulullah SAW. Pernah datang menjenguk aku ketika aku sedang sakit tidak sadarkan diri. Beliau kemudian berwudhu, lalu menuangkan air bekas tumpahan air wudhunya kepada saya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Andai kata tumpahan air wudhu itu tidak suci, tentu beliau tidak menumpahkannya pada Jabir.

Dalil bahwa air tersebut tidak dapat mensucikan adalah hadis Nabi SAW. :
Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Nabi SAW, telah bersabda: “Janganlah salah di antara kamu mandi di dalam air yang tidak mengalir, sedangkan ia dalam keadaan junub.” (HR. Muslim)
Para sahabat bertanya kepada Abu Hurairah: “Kalau begitu bagaimana cara mandi junub dengan air yang tidak mengalir?”
Abu Hurairah menjawab, ” Dengan cara menciduknya?”

Penjelasan:
Hadis riwayat Abu Hurairah tersebut memberi pengertian, bahwa mandi dengan berendam di dalam air yang diam itu dapat menghilangkan kesucian air. Jika tidak demikian, tentu beliau tidak melarangnya. Kasus ini ada kemungkinan berkaitan dengan air tenang yang sedikit. Hukum berwudhu di dalam air yang tidak mengalir dan sedikit itu sama dengan hukum mandi, karena tujuannya sama yaitu menghilangkan hadas.

Adapun benda-benda suci yang umumnya membutuhkan air dan benda-benda yang tidak dapat dipisahkan dari air jika telah bercampur, seperti misik (minyak),garam dan lain-lainnya, dan keberadaan air tersebut tidak dapat mensucikan itu karena air tersebut tidak lagi disebut air.

Termasuk air suci namun tidak menyucikan adalah air yang berubah karena bercampur dengan benda-benda suci lainnya, dimana benda suci tersebut tidak dibutuhkan oleh air dan tidak mungkin dipisahkan dari air jika telah bersatu dengannya, misalnya misik, garam dan lain-lainnya. Air semacam ini dianggap tidak menyucikan lagi sebab tidak disebut air murni, melainkan air campuran.

Dalil tentang air kurang dari dua qullah jika kejatuhan najis menjadi najis adalah hadis Nabi SAW.:
Dari Abdillah bin Umar r.a, ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW, ditanya tentang air di padang pasir dan air yang didekati binatang-binatang buas dan binatang-binatang ternak. Maka beliau bersabda: “Apabila air telah mencapai dua qullah, maka tidak mengandung najis.” (HR. Lima Imam Ahli Hadis)

Hadits yang sama menurut riwayat Imam Abu DAwud sebagai berikut : “Apabila air tidak mencapai dua qullah, maka sesungguhnya tidak najis.”

Pengertian hadis di atas adalah air jika kurang dari dua qullah terkena najis, maka air tersebut menjadi najis, sekalipun tidak berubah.
Pengertian ini di kuatkan oleh hadis Nabi SAW.:
Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Nabi SAW. Telah bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah langsung mencelupkan tangannya kedalam tempat air sebelum membasuhnya 3 kali, sebab ia tidak mengetahui kemana tangannya meraba-raba sewaktu ia tidur.” (H.R Muslim)

Dalam hadis diatas, Rasulullah SAW, melarang setiap orang yang baru bangun dari tidurnya memasukkan tangannya kedalam air, karena khawatir tangan orang itu terkena najis yang tidak terlihat, dan telah maklum, bahwa najis yang tidak terlihat itu tidak dapat merubah air menjadi najis hanya dengan persentuhan saja. Jika bukan karena hal itu bisa menajisi air, niscaya beliau tidak melarang tersebut.

Dalil bahwa air telah mencapai dua qullah yang telah berubah akibat tercampur benda najis adalah ijma’ ulama. Dalam kitab Al-Majmu’ diterangkan, Imam Ibnu Al-Mundzir berkata: Para ulama telah sepakat, bahwa air sedikit atau banyak jika terkena najis yang merubah (mempengaruhi) rasa, warna dan baunya, maka air tersebut menjadi najis.
Adapun mengenai hadis berikut:

“Setiap air itu suci dan menyucikan, tidak dapat dibuat najis oleh suatu apapun, kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah rasa atau baunya.”

Ini sanadnya dianggap lemah. Imam Nawawi berkata: “Hadis di atas tidak sah dijadikan dasar. Imam As-Syafi’i mengutip penilaian lemah terhadap hadis di atas dari pakar ilmu hadis.” (Al-Majmu’ I/60)
Takaran dua qullah itu sama dengan ±190 liter, atau bak berukuran 58 cm persegi.

Recommended For You

About the Author: Yudha Permana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *